Mumi
Aikima, merupakan Mumi (manusia yang diawetkan) yang terdapat di Lembah
Baliem Wamena. Berbeda dengan Mumi pada umumnya yang kita kenal di
Mesir/benua Afrika, Mumi yang terdapat di Wamena ini memiliki sejarah
maupun proses pembuatan yang berbeda. Dinamakan Mumi Aikima karena Mumi
ini terdapat di Desa Aikima, Distrik Kurulu Kabupaten Jayawijaya. Dapat
ditempuh dari kota Wamena Ibukota Kabupaten Jayawijaya dengan
menggunakan kendaraan roda empat maupun roda dua, dengan jarak tempuh ± 5
km kearah barat laut dari kota Wamena.
Mumi Aikima berasal dari seorang kepala suku besar yang pernah dikenal mendiami serta
Mengaasai
daerah lembah baliem yang bernama Werupak Elosak . Kepala suku ini
dikenal sangat ramah, dan bijaksana sehingga untuk menghormati dan
mengenangnya jasadnya tidak dibakar/dikebumikan melainkan
diawetkan/diabadikan sebagai Mumi agar dapat dikenal sepanjang
keturunannya.
Sejarah/Proses dibentuknya Mumi Aikima
Sebelum
meninggal (pada saat koma), kepala suku yang dijadikan Mumi ini terlebih
dahulu mengumpulkan segala sanak saudaranya, dan memberikan
nasehat/sejarah/rahasia-rahasia yang biasannya diberikan secara turun
temurun. Setelah meninggal kepala suku dimasukan dalam Honai (rumah adat
suku Dani) pria. Untuk mengawetkannya dan menjadikannya sebagai Mumi
dilakukan sebuah proses pembuatan secara tradisional dengan menggunkan
peralatan serta ramuan alami yang dilakukan oleh orang-orang yang sudah
dipercayai dari golongan/marga tertentu. Segala proses pembuatan Mumi
dilakukan di dalam Honai adat laki-laki dan hanya dilakukan oleh kaum
pria. Kaum wanita maupun anak-anak dilarang ikut ataupun terlibat dalam
proses pembuatannya. Adapun prosesnya yakni dengan mengelurkan isi
perut(lambung, usus, hati dll)yang dikeluarkan melalui lubang anus,
setelah itu cairan yang terdapat dalam tubuh Mumi dikeluarkan dengan
cara tubuh Mumi diletakan secara horizontal diatas bara api dengan jarak
± 2 meter. setelah itu cairan dalam tubuh mulai dari kepala hinggá kaki
dikeluarkan dengan cara ditusuk-tusuk menggunakan kayu yang diruncing
tajam, hingga seluruh cairan keluar. Lalu tubuh Mumi dikeringkan dengan
suhu yang tetap hangat. Dengan mengunakan ramuan-ramuan dari
tumbuh-tumbuhan yang ada, kulit dan tulang Mumi akan menyatu dan menjadi
awet hinggá Sekarang. Sumber : berdasarkan cerita rakyat maupun cerita
yang disampaikan secara langsung kepada penulis.
LEMBAH "SERIBU HONAI
Bukan Mesir saja yang
memiliki mumi. Suku Dani, Yali, dan Ngalum di Kabupaten Jayawijaya
menyimpan sejumlah mumi yang umurnya ratusan tahun, khususnya di Lembah
Baliem yang dihuni masyarakat Dani dengan rumah khasnya, honai Intisari
sempat mengunjungi beberapa mumi tersebut, yang sering kali tidak mudah
dilakukan.
Dingin Lembah Baliem yang berketinggian sekitar 1.600 m
dari permukaan laut terasa menusuk tulang. Konon ini masih belum
seberapa dibandingkan dengan beberapa tahun silam. Dulu kabut masih
sering menyelimuti Lembah Baliem. Juga bukan hal yang aneh jika
terkadang turun hujan es.
Menyusuri Kota Wamena yang terhampar di
Lembah Baliem itu terasa lain dengan cerita orang selama ini. Sudah
jarang kita temui lelaki ber-holim (koteka) maupun wanita ber-sali
(pakaian khas masyarakat Dani). "Tetapi bukan hal aneh pula jika ada
lelaki ber-holim masuk ke bank dan menyetor uang jutaan rupiah," ungkap
Kol. J.B. Wenas, bupati Kabupaten Jayawijaya.
Dalam sisi tertentu
memang ada budaya masyarakat yang menepi karena derap pembangunan. Bisa
jadi budaya tersebut tidak bisa mengikuti lagi lajunya zaman. Perang
antarsuku dan potong jari atau telinga jika ada kerabat yang meninggal
merupakan salah satu contoh.
Kotekanya masih utuhMenurut adat Dani,
orang yang meninggal jenazahnya tidak dikuburkan tetapi dikremasi dengan
upacara adat, yang berlangsung selama 40 hari. Upacara ini dilakukan di
halaman sili (unit permukiman masyarakat Dani - lihat ), di depan
pilamo (Honai laki-laki). Selesai dikremasi, abu jenazah dikumpulkan dan
dimasukkan ke dalam labu yang telah disiapkan. Kemudian labu tersebut
dimakamkan di belakang pilamo dan diberi pagar pelindung. Maka menjadi
pertanyaan jika ada mayat yang diawetkan (dimumikan). Menurut informasi,
hanya orang tertentu yang boleh dimumikan. Mereka itu biasanya orang
yang dianggap pahlawan karena banyak berjasa dalam perang antarsuku
semasa hidupnya. Bisa jadi mereka adalah kepala suku atau panglima
perang.
Selama ini di Kabupaten Jayawijaya ada 7 mumi yang sudah
diketahui. "Namun satu di antaranya masih dipertahankan oleh
keturunannya, dalam arti tidak boleh dilihat orang lain," ujar Drs. D.
Mandowen, pegawai Dinas Pariwisata Dati II Kabupaten Jayawijaya.
Mumi-mumi tersebut bisa dijumpai di Kecamatan Kurulu, utara Kota Wamena
(3 buah), di Kecamatan Assologaima, barat Kota Wamena (3 buah), serta di
Kecamatan Kurima satu buah, dan satu-satunya mumi wanita. Dari ketujuh
mumi tersebut, mumi Werupak Elosak di Desa Aikima dan mumi Wimontok
Mabel di Desa Yiwika, keduanya di Kecamatan Kurulu, sudah menjadi objek
wisata dan sering dikunjungi wisatawan.
Mumi Werupak Elosak, yang
terdapat di Desa Aikima, 8 km utara Kota Wamena dan bisa dicapai dengan
kendaraan roda 4, dirawat oleh keturunannya dalam sebuah sili. Werupak
dulunya panglima perang yang gagah berani. Untuk menghormati jasa
kepahlawanannya, ia dimumikan. Selain itu, menurut salah satu
keturunannya, sebelum meninggal Werupak sendiri minta supaya mayatnya
diawetkan. Dari keterangan, ia meninggal karena tertusuk sege (tombak)
dalam suatu peperangan. Bekas luka itu masih terlihat jelas.
Masih
menjadi rahasia, ramuan apa yang dipakai untuk mengawetkan mayat.
Menurut Mandowen, pengawetan dilakukan dengan cara pengasapan, selama ± 3
bulan terus-menerus. Sepanjang prosesi pengawetan tersebut disertai
dengan upacara adat yang sakral.
Setelah menjadi mumi, perawatan
selanjutnya ditangani kaum laki-laki saja. Mereka percaya, jika sudah
tersentuh oleh wanita, mumi akan cepat rusak serta bisa mendatangkan
malapetaka; bisa berupa kurang suburnya ladang maupun timbulnya wabah
penyakit. Bagi si wanita sendiri, ia bisa menjadi tidak subur.
Masih
simpang siur berapa sebenarnya umur mumi Werupak Elosak. Menurut Sam
Pogowak, penduduk yang tinggal di sekitar mumi, umurnya 350 tahun.
"Werupak Elosak sudah mempunyai 5 garis keturunan. Jika kita ambil satu
garis keturunan berumur 65 tahun, berarti umur mumi 325 tahun," kata
Mandowen. Sedangkan Diparda Tk. II mencantumkan angka ± 210 tahun. Tapi
yang jelas, meski mumi sudah berumur ratusan tahun, pakaian
tradisionalnya, terutama koteka, masih utuh.
Diberi kalung tiap 5
tahunLebih ke utara lagi, sekitar 7 km, terdapat mumi Wimontok Mabel, di
Desa Yiwika. Mumi ini lebih kecil dibandingkan dengan Werupak Elosak
namun kondisinya lebih bagus. Wimontok, yang dalam bahasa setempat
berarti perang terus, adalah kepala suku perang yang ahli strategi. Ia
meninggal karena usia tua, dan sesuai dengan amanatnya, mayatnya
diawetkan.
Sebagai seorang panglima perang, wajar jika ia sering
terluka. Terdapat tiga lubang bekas luka yang serius akibat tusukan sege
di tubuhnya. Aksesorisnya juga masih lengkap.
Setelah bersusah payah
melewati gapura sili, yang berundak-undak dari batang kayu kecil,
Intisari diterima oleh kerabat Wimontok Mabel. Setelah memotret mumi,
banyak orang - dengan bahasa isyarat - minta dipotret. Melihat tempat
penyimpanan mumi di dalam honai ternyata juga tidak gampang. Izin dari
kerabat baru keluar setelah bernegosiasi, termasuk ongkos masuk dan
memotret. Memasuki ruangan dalam honai begitu gelap. Penerangan hanya
berasal dari sinar yang masuk lewat pintu honai yang sempit dan dari
bara api penghangat ruangan. Atapnya yang hitam akibat terus- menerus
terkena asap perapian semakin membuat gelap ruangan. Setelah mata
menyesuaikan diri dengan keadaan, pandangan langsung tertumbuk pada tas
plastik yang tergantung dan penuh berisi uang. Di "sudut" agak ke atas
nampaklah kotak kayu tempat mumi disimpan. Selesai memotret tempat
penyimpanan mumi itu, kesepakatan hasil negosiasi yang sudah dicapai di
luar ternyata berubah. Pembicaraan "ongkos memotret" berjalan alot dan
menegangkan. Kesepakatan sulit dicapai. Keringat dingin sempat mengucur
karena takut tak bisa keluar. Syukurlah, negosiasi tercapai dengan
mereka sebagai pihak yang menang.
Sekeluar dari honai, orang-orang
yang minta dipotret tadi pun langsung mengerumuni Intisari. Rasa kaget
dan bingung segera luntur setelah paham bahwa ternyata mereka minta
uang! Rupanya kesadaran akan hak kepemilikan sudah mereka miliki.
Mumi
Wimontok diperkirakan berumur 362 tahun. Umur ini bisa dihitung dari
kalung yang dilingkarkan di lehernya setiap 5 tahun sekali. Pengalungan
tersebut disertai upacara adat dengan pemotongan babi. Lemak hewan itu
kemudian dibalurkan ke seluruh tubuh mumi.
Dalam upacara-upacara
adat, terutama perkawinan, mumi Werupak maupun Wimontok selalu
dihadirkan di tengah-tengah pesta. Sesuai dengan adat kepercayaan
mereka, kehadiran mumi dalam suatu upacara itu akan mendatangkan
kebahagiaan dan kesuburan. "Mereka percaya, mumi akan merestui setiap
kegiatan yang mereka lakukan sebab hal itu pun pernah dilakukan oleh
mumi semasa hidupnya," kata Mandowen.
Mumi wanita dari guaDi
Kecamatan Assologaima, ada 3 mumi, yaitu Alongga Araboda, Abinowo
Wilapok, dan Pumo. Menurut cerita, mumi Werupak Elosak berasal dari Desa
Wogi, Kecamatan Assologaima. Di sinilah mumi tersebut dibuat sebelum
dipindahkan ke tempatnya yang sekarang sekitar tahun 1960-an.
Tidak
mudah untuk menyaksikan mumi di Kecamatan Assologaima ini. "Saya
sendiri, yang penduduk asli daerah itu, harus minta izin sampai 3 kali
untuk bisa memotret. Itu pun hanya satu mumi," ujar Drs. Isak Tabuni,
pegawai Diparda. Namun anehnya, mumi Abinowo Wilapok dan Alongga Araboda
pernah dipamerkan dalam Expo Waena di Jayapura pada tahun 1983. Secara
fisik, mereka lebih besar dibandingkan dengan mumi yang ada di Kecamatan
Kurulu. Satu-satunya mumi seorang wanita bisa dijumpai di Desa Anggruk,
Kecamatan Kurima. Untuk menuju ke sana, transportasi darat masih sulit.
Mumi Anggruk yang berasal dari rumpun suku Yali dan bernama Yamen Silok
itu ditemukan dalam sebuah gua. "Mumi ini terbentuk oleh alam," ungkap
Mandowen. Menurutnya, mumi itu terletak di atas sungai yang mengalir
dalam gua. Karena proses alami, terbentuklah mumi. Dari segi umur, mumi
wanita ini termuda dari yang pernah ditemukan, yaitu berumur 100-an
tahun.
Sayangnya, perlindungan dan perawatan mumi-mumi itu nampak
masih kurang. Mumi hanya ditaruh begitu saja dalam kotak. Jika ada yang
ingin melihat, mumi digotong ke halaman sili dan didudukkan di atas
kursi atau balok kayu. Mobilitas yang tinggi karena hampir setiap hari
ada yang ingin melihatnya bisa menimbulkan kerapuhan. Mumi Werupak
Elosak, misalnya, pada bagian tertentu sudah dipaku dan diplester dengan
lakban. Atau bagian kaki mumi Wimontok nampak diikat dengan kawat untuk
menjaga keutuhannya.
Penanganan khusus untuk melestarikan aset
budaya bangsa ini nampaknya amat diperlukan. "Sewaktu berkunjung ke
sini, Menteri Penerangan Harmoko memang sudah menyarankan agar mumi
dimasukkan ke dalam kotak kaca hampa udara, sehingga bebas dari kontak
udara luar, dan juga tangan-tangan yang memegangnya," jelas P.E.
Tambayong, B.A., kepala Diparda Kab. Jayawijaya.
Masalahnya, untuk
mewujudkan saran tersebut, mumi harus dibawa ke luar dari sili karena
peralatan yang digunakan tidak bisa di bawa ke lokasi. Menurut
Tambayong, mumi boleh dibawa ke luar dari sili asalkan disertai oleh
kerabatnya, minimal 5 orang. "Dananya yang tidak ada," aku Tambayong.
Belum lagi negosiasi dengan para kerabat mumi untuk memberi penjelasan
maksud dan kegunaan mumi disimpan dalam kotak kaca hampa udara tidak
mudah. Alasan mereka, mumi tersebut sering diikutkan dalam upacara adat
sehingga jika dikacakan, kedekatan mereka dengan mumi berkurang.
Pengalaman
Wenas sewaktu menjadi Dandim Kabupaten Paniai bisa dijadikan cermin.
"Ada mumi di Kecamatan Ilaga yang saya buatkan kotak kaca. Tapi saya
dengar sekarang sudah hilang. Mungkin dijual kepada wisatawan asing,"
ujarnya. (Yds. Agus Surono)