WAMENA KOTA YANG INDAH
Wamena merupakan daerah asal suku asli
Papua, suku Dani. Kata Wamena pun berasal dari bahasa Dani, artinya babi
jinak. Ya, di Wamena banyak sekali terdapat babi, baik babi jinak
maupun babi hutan. Kebanyakan terdapat di wilayah Kurulu, yang merupakan
wilayah tempat tinggal suku Dani. Itu karena babi-babi ini masih
dipelihara oleh masyarakat suku Dani. Makanya, di pagi hari, setelah
menempuh perjalanan 40 menit dari Bandara Sentani, Jayapura, sesampainya
di Bandara Wamena, kami langsung menuju Kurulu.
Sesampainya di Kurulu, dengan bantuan pak polisi setempat, kami bisa masuk ke perkampungan Kurulu, melihat kehidupan tradisional masyarakat suku Dani (atau disebut juga suku Lembah Baliem). Mereka masih berpakaian Koteka, pakaian khas Papua. Tapi banyak juga yang masih telanjang.
Setelah berfoto bersama, saatnya melihat mumi Wamena, yang dipercaya sebagai nenek moyang suku Dani. Mumi ini dalam keadaan sudah menjadi tengkorak setelah dibakar dan diawetkan. Duduk merapat, kaki sedikit ditekuk tapi tidak menyilang, tangan memegang lutut, kepala menengadah ke atas sambil membuka mulut. Di kepalanya ada semacam ikatan ban, di lehernya ada semacam kain yang sudah usang, dan di kaki kanannya terdapat potongan tongkat perang. Menurut kepala suku Yali Mabel, mumi ini bernama Mimintok Mabel (368 tahun), dan sampai sekarang disimpan karena dianggap pembawa keberuntungan. Foto bersama pun dilakukan. Tapi bukan berarti semua ini dilakukan gratis. Untuk bisa berfoto bersama masyarakat suku Dani dikenakan biaya Rp. 150.000 sekali foto dan Rp. 200.000 untuk berfoto bersama mumi Wamena. Mereka juga menjual pernak-pernik khas Wamena yang mereka buat sendiri dari bahan utama batu mutumanikam dan kulit serta tulang dari babi hutan. Wow..
Setelah puas menikmati perkampungan Kurulu, kami pun pergi menuju jembatan gantung yang terdapat di perkampungan Pugima. Jembatan gantung ini menjadi istimewa karena selain jaraknya yang panjang (sekitar 500km), juga jembatannya masih goyang-goyang tapi tak akan jatuh, karena sudah dipasang dengan kawat besi besar.
Jembatan yang menghubungkan kota Wamena dengan perkampungan Pugima ini dibangun di atas Sungai Walesi.
Puas ke jembatan gantung, saatnya makan siang. Dengan menu makanan khas Wamena, Udang Selingkuh, kami pun dengan lahap menikmatinya. Entah kenapa disebut udang selingkuh, yang jelas makanan ini jarang terdapat di Jakarta, dan rasanya, mmm.. menggugah selera hehe.
Setelah cukup makan siang, saatnya belanja oleh-oleh khas Wamena di Pasar Jibama. Saya tidak beli apa-apa di sana, tapi ibu saya yang memborong beberapa. Ada tas Noken, gelang Sengkan, dan beberapa sayur mayur. Saya hanya memborong kaos-kaos khas Wamena, dan sssttt.., kostum bola Persiwa Wamena hehehe..
Setelah belanja banyak, kami menuju Hotel Baliem Pilamo tempat kami menginap. Hotel ini adalah satu-satunya hotel di Wamena yang bertaraf nasional tapi masih bernuansa tradisional. Banyak turis lokal dan wisatawan asing menginap di hotel ini. Di sepakbola, kalau ada klub yang bertandang melawan tuan rumah Persiwa Wamena, seringnya menginap di hotel ini. Contohnya seperti yang dialami saya dan ibu saya. Kami satu hotel dengan pemain-pemain Sriwijaya FC, yang esoknya main lawan Persiwa di malam hari. Sudah pasti kami pun berfoto bersama beberapa pemain Sriwijaya FC. Asik dah haha..
Menjelang sore, saya sempatkan diri untuk mengunjungi Stadion Pendidikan, tempat klub Persiwa Wamena selalu menjamu lawan-lawannya. Stadion ini minim tribun, masih standar daerah. Tapi dengan lapangan terbuka dan curahan hawa dingin yang sejuk, membuat suasananya sangat tenang dan damai.
Malam hari pun kami hanya menghabiskan waktu di hotel sebelum esok paginya pulang ke Jayapura. Kami tak sempat mengunjungi beberapa tempat wisata lagi di Wamena ini karena kami hanya punya satu hari. Tentu saya masih ingin mengunjungi satu-satunya pegunungan di Indonesia yang memiliki salju abadi, Pegunungan Jayawijaya. Suatu saat nanti pasti saya akan jalan-jalan ke sana.
Singkat cerita, saya cukup puas liburan di Wamena. Mungkin informasi dari cerita ini masih kurang. Tapi pelajaran yang bisa saya petik dari kisah ini adalah, kita harus bersyukur kalau masih ada sisi tradisional yang menjadi aset berharga bangsa ini, di tengah carut-marut perkembangan dan kemajuan teknologi serba canggih. Sisi lain suku primitif, dan suku pedalaman hutan rimba Papua yang sangat ekstrim. Sisi lain sejarah asli bangsa Timur Indonesia.
Sesampainya di Kurulu, dengan bantuan pak polisi setempat, kami bisa masuk ke perkampungan Kurulu, melihat kehidupan tradisional masyarakat suku Dani (atau disebut juga suku Lembah Baliem). Mereka masih berpakaian Koteka, pakaian khas Papua. Tapi banyak juga yang masih telanjang.
Setelah berfoto bersama, saatnya melihat mumi Wamena, yang dipercaya sebagai nenek moyang suku Dani. Mumi ini dalam keadaan sudah menjadi tengkorak setelah dibakar dan diawetkan. Duduk merapat, kaki sedikit ditekuk tapi tidak menyilang, tangan memegang lutut, kepala menengadah ke atas sambil membuka mulut. Di kepalanya ada semacam ikatan ban, di lehernya ada semacam kain yang sudah usang, dan di kaki kanannya terdapat potongan tongkat perang. Menurut kepala suku Yali Mabel, mumi ini bernama Mimintok Mabel (368 tahun), dan sampai sekarang disimpan karena dianggap pembawa keberuntungan. Foto bersama pun dilakukan. Tapi bukan berarti semua ini dilakukan gratis. Untuk bisa berfoto bersama masyarakat suku Dani dikenakan biaya Rp. 150.000 sekali foto dan Rp. 200.000 untuk berfoto bersama mumi Wamena. Mereka juga menjual pernak-pernik khas Wamena yang mereka buat sendiri dari bahan utama batu mutumanikam dan kulit serta tulang dari babi hutan. Wow..
Setelah puas menikmati perkampungan Kurulu, kami pun pergi menuju jembatan gantung yang terdapat di perkampungan Pugima. Jembatan gantung ini menjadi istimewa karena selain jaraknya yang panjang (sekitar 500km), juga jembatannya masih goyang-goyang tapi tak akan jatuh, karena sudah dipasang dengan kawat besi besar.
Jembatan yang menghubungkan kota Wamena dengan perkampungan Pugima ini dibangun di atas Sungai Walesi.
Puas ke jembatan gantung, saatnya makan siang. Dengan menu makanan khas Wamena, Udang Selingkuh, kami pun dengan lahap menikmatinya. Entah kenapa disebut udang selingkuh, yang jelas makanan ini jarang terdapat di Jakarta, dan rasanya, mmm.. menggugah selera hehe.
Setelah cukup makan siang, saatnya belanja oleh-oleh khas Wamena di Pasar Jibama. Saya tidak beli apa-apa di sana, tapi ibu saya yang memborong beberapa. Ada tas Noken, gelang Sengkan, dan beberapa sayur mayur. Saya hanya memborong kaos-kaos khas Wamena, dan sssttt.., kostum bola Persiwa Wamena hehehe..
Setelah belanja banyak, kami menuju Hotel Baliem Pilamo tempat kami menginap. Hotel ini adalah satu-satunya hotel di Wamena yang bertaraf nasional tapi masih bernuansa tradisional. Banyak turis lokal dan wisatawan asing menginap di hotel ini. Di sepakbola, kalau ada klub yang bertandang melawan tuan rumah Persiwa Wamena, seringnya menginap di hotel ini. Contohnya seperti yang dialami saya dan ibu saya. Kami satu hotel dengan pemain-pemain Sriwijaya FC, yang esoknya main lawan Persiwa di malam hari. Sudah pasti kami pun berfoto bersama beberapa pemain Sriwijaya FC. Asik dah haha..
Menjelang sore, saya sempatkan diri untuk mengunjungi Stadion Pendidikan, tempat klub Persiwa Wamena selalu menjamu lawan-lawannya. Stadion ini minim tribun, masih standar daerah. Tapi dengan lapangan terbuka dan curahan hawa dingin yang sejuk, membuat suasananya sangat tenang dan damai.
Malam hari pun kami hanya menghabiskan waktu di hotel sebelum esok paginya pulang ke Jayapura. Kami tak sempat mengunjungi beberapa tempat wisata lagi di Wamena ini karena kami hanya punya satu hari. Tentu saya masih ingin mengunjungi satu-satunya pegunungan di Indonesia yang memiliki salju abadi, Pegunungan Jayawijaya. Suatu saat nanti pasti saya akan jalan-jalan ke sana.
Singkat cerita, saya cukup puas liburan di Wamena. Mungkin informasi dari cerita ini masih kurang. Tapi pelajaran yang bisa saya petik dari kisah ini adalah, kita harus bersyukur kalau masih ada sisi tradisional yang menjadi aset berharga bangsa ini, di tengah carut-marut perkembangan dan kemajuan teknologi serba canggih. Sisi lain suku primitif, dan suku pedalaman hutan rimba Papua yang sangat ekstrim. Sisi lain sejarah asli bangsa Timur Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar