Habema-Trikora, Elok di Atas Awan
Senin, 29 Oktober 2012 | 18:15 WIB
Kompas/Mohamad Final Daeng
Danau
Habema di Kabupaten Jayawijaya, Papua, dengan latar belakang pegunungan
tinggi, terlihat Kamis (11/10). Danau yang merupakan bagian dari Taman
Nasional Lorentz itu terletak di ketinggian 3.335 meter dari permukaan
laut dan menyimpan berbagai potensi keanekaragaman hayati yang unik.
Oleh M Final Daeng
Puncak Trikora dengan jajaran pegunungan di kanan-kirinya tengah
berbaik hati. Gunung yang biasanya selalu tertutup awan dan kabut ini,
pagi itu menampakkan wujud utuhnya kepada setiap mata yang memandang. Di
kakinya, Danau Habema dengan tenang bersemayam.
Pemandangan spektakuler tersebut membuat kepenatan perjalanan darat
selama tiga jam dari Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua, pertengahan
Oktober lalu, terbayarkan. Perjalanan yang bisa dibilang tidak ringan.
Mobil berpenggerak empat roda yang kami tumpangi harus melewati medan
offroad mendaki dengan sesekali menembus lapisan awan tipis. Danau
Habema dan Puncak Trikora terletak di ketinggian lebih dari 3.200 meter
dari permukaan laut (mdpl). Keduanya masuk dalam zona inti Taman
Nasional Lorentz, Papua.
Semakin tinggi menanjak, semakin tajam suhu dingin merasuk, terutama
saat angin semilir berembus. Dua lapis jaket dan dua lapis celana yang
dikenakan masih belum sanggup menjadi penawarnya.
”Suhu rata-rata di Habema mencapai 8 derajat celsius. Suhu terendah
yang pernah kami rasakan sampai 4 derajat celsius,” ujar Jimmi
Pamassangan, anggota staf lapangan TN Lorentz yang menemani rombongan
kami mengunjungi Habema. Rombongan kala itu sekitar 10 orang, terdiri
atas unsur WWF Indonesia, Balai Taman Nasional Lorentz, wisatawan asing,
dan Kompas.
Sesampai di lokasi itu, perjalanan menuju danau masih harus
dilanjutkan dengan berjalan kaki sekitar 45 menit menuruni dan menaiki
punggung bukit yang terpisahkan padang basah. Di medan ini, kaki harus
cermat melangkah jika tak ingin ambles ke genangan air dan lumpur yang
tersamarkan rumput atau lumut.
Namun, semua lelah itu lenyap ditelan indahnya panorama saat tiba di
tepi danau. Airnya dingin dan jernih. Dari pinggiran, dasar danau yang
berpasir halus berwarna kekuningan bisa terlihat. Suasana sekeliling
sangat tenang sambil sesekali ditingkahi kicauan burung.
Letnan Belanda
Danau Habema, yang disebut Yuginopa oleh masyarakat lokal, luasnya
mencapai 224,35 hektar dengan panjang keliling 9,79 kilometer.
Ketinggiannya dari permukaan laut mencapai 3.335 meter. Masyarakat Dani,
penduduk asli Jayawijaya, menganggap danau itu sebagai tempat keramat
karena menjadi sumber kesuburan dan kehidupan.
Nama Habema sendiri diambil dari seorang perwira detasemen militer
Belanda, Letnan D Habbema, yang mengawal ekspedisi pimpinan HA Lorentz
di kawasan tersebut tahun 1909. Ekspedisi itu bertujuan mencapai Puncak
Trikora atau yang dulu disebut Puncak Wilhelmina. Gunung ini menjadi
menarik karena atapnya tertutup salju meski berada di daerah tropis.
Marc Argeloo dalam buku Land of the Birds of Paradise (2012)
menuliskan, meski tak berhasil mencapai puncak, Lorentz sukses
menginjakkan kaki di kawasan bersalju gunung tersebut pada ketinggian
4.461 mdpl, November 1909. Puncak Trikora sendiri berketinggian 4.730
mdpl.
Namun, pencapaian itu harus dibayar dengan pengorbanan besar. Selama
ekspedisi, tiga porter dan seorang tentara tewas kelelahan dan
kekurangan makanan. Lorentz sendiri menderita patah rusuk akibat
terjatuh saat menuruni gunung.
Kini, salju Trikora sudah lama menghilang yang ditengarai akibat pemanasan global bumi. ”Dulu juga masih ada hujan butiran es di Habema, tapi 4-5 tahun terakhir ini sudah tak ada lagi,” kata Jimmi.
Kekayaan hayati
Meski demikian, kawasan di sekitar Danau Habema masih menyimpan
keunikan keanekaragaman hayati. Padang di sekeliling danau ditumbuhi
berbagai tanaman yang hanya bisa ditemukan pada iklim dataran tinggi,
seperti pakis palem (Cycas sp), pohon sage (Nothofagus), edelweis
(Leontopodium alpinum), dan berbagai jenis lumut gunung.
Mathieu (28) dan Armelle (29), pasangan turis asal Perancis yang
turut serta dalam perjalanan, terpukau melihat lanskap pegunungan dan
vegetasi yang hidup di sekitar Danau Habema. ”Suasananya mirip di
selatan Perancis,” ujar Mathieu.
Selain vegetasi, berbagai jenis satwa juga terlihat di Habema. Di
antaranya, sekawanan bebek liar (Anas platyrhynchos)yang tengah
bermain-main di permukaan danau dan tiga ekor puyuh salju (Anurophasis
monorthonyx) saat mereka berjalan menuju semak-semak lebat yang tumbuh
di tebing gunung.
Kompas/Mohamad Final Daeng
Pemandangan
hutan yang terbentang di kawasan Taman Nasional Lorentz, Papua, dengan
latar belakang Puncak Trikora di Kabupaten Jayawijaya, Kamis (11/10).
Kawasan konservasi itu merupakan salah satu situs alam warisan dunia
yang memiliki ekosistem terlengkap di bumi.
Perjumpaan dengan puyuh salju itu bisa dibilang istimewa. Inilah
satwa endemis pegunungan tengah Papua yang hanya hidup di ketinggian
3.000-4.200 mdpl. Lembaga International Union for Conservation of Nature
(IUCN) memasukkannya dalam kategori ”nyaris terancam punah” karena
populasinya yang menurun.
Namun, ada beberapa satwa unik yang dulu sering ditemukan di sekitar
Habema, tapi kini sudah sulit sekali terlihat. Program Manager Lorentz
WWF Indonesia Petrus A Dewantoro, mengatakan, wilayah Habema juga
dulunya merupakan habitat kanguru pohon (Dendrolagus sp). ”Sekarang
hewan itu sudah sulit sekali ditemui,” katanya.
Jimmi menambahkan, hal serupa juga terjadi pada burung cendrawasih
elok (Macgregoria pulchra) yang seolah menghilang. Padahal, beberapa
tahun lalu burung cantik nan langka itu masih dengan mudah dijumpai
beterbangan di hutan-hutan di jalan akses Wamena-Habema.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar